Inilah Alasan Mengapa Suatu Nilai Memiliki Peran Penting dalam Kepemimpinan!

3
1899
pemimpin berbasis nilai

Tentang pemimpin berbasis nilai (values-based leader) yang harus Anda tahu!

Dari semua kualitas yang mendukung seberapa efektifnya suatu kepemimpinan, barangkali tidak ada yang lebih penting dari berpegang teguh pada landasan nilai yang membawa kita kepada kesuksesan.

Sependapat dengan hal ini, Harry M. Jansen Kraemer Jr berpendapat bahwa value based leadership adalah satu-satunya gaya kepemimpinan yang paling efektif.

Kraemer Jr–seorang profesor manajemen dan penulis buku From Values to Action: The Four Principles of Values-Based Leadership percaya bahwa orang-orang akan menjadi pemimpin yang efektif bila mereka menerapkan mindsetsiapa mereka dan apa yang paling penting” pada dirinya sendiri. Menurutnya, hal ini membantu para pemimpin dalam menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.

Kebanyakan dari kita tertarik dengan pemimpin yang berbasis nilai (values-based leader). Mereka adalah orang-orang yang memiliki prinsip, jujur, selaras dalam perbuatan dan ucapannya, yang menginspirasi orang-orang terdekatnya, dan mereka merasa lebih bersyukur terhadap apa yang orang lain lakukan padanya daripada cenderung untuk mengharapkan sesuatu sebagai balasan.

Pemimpin yang berbasis nilai menjadi inspirasi bagi para pengikutnya untuk tetap loyal dan berkomitmen dalam melaksanakan tanggung jawabnya.

Namun terkadang, value-based leadership dapat tidak berjalan sesuai ekspektasi, baik itu akibat persepsi negatif atau kekurangan dari penerapan gaya kepemimpinan tersebut.

Buku When Values Backfire: Leadership, Attribution, and Disenchantment in a Values-Driven Organization karya Sandra E. Cha dan Amy C. Edmondson menjelaskan bagaimana pemimpin berbasis nilai tetap dapat menerima penilaian negatif karena gagal dalam melaksanakan peran mereka dalam menjalankan suatu organisasi.

Pemimpin yang karismatik seringkali menghasilkan ekspektasi tinggi terhadap kepemimpinan mereka karena bagaimana cara mereka menginspirasi, memotivasi, dan mendorong pengikutnya untuk menyebarkan nilai-nilai dan visi yang pemimpin tersebut miliki.

Pemimpin seperti itu dijunjung tinggi karena pengikutnya memperoleh dukungan dan kesadaran akan potensi yang dimilikinya ketika menerapkan nilai-nilai yang dianut pemimpin mereka.

Namun, jika timbul perasaan bahwa pemimpin tersebut munafik dalam perbuatannya, hal ini dapat menyebabkan kekecewaan sebagaimana didefinisikan oleh Cha dan Edmondson sebagai “sebuah transisi di mana timbul campuran emosi dari kekecewaan serta hilangnya kepercayaan pada pemimpin yang telah meninggikan ekspektasi pengikutnya karena nilai-nilai yang telah diterapkannya.”

Ada salah satu insight menarik dari artikel yang menyoroti sebuah fenomena bernama “hyprocrisy attribution”, di mana karyawan akan menganggap seorang pemimpin munafik tanpa mempertimbangkan bahwa dia mungkin “memiliki legitimasi yang sah atas tindakannya tersebut”.

Dalam kesimpulannya, Cha dan Edmondson berpendapat bahwa tantangan yang dihadapi para pemimpin terletak pada bagaimana cara mereka menuai manfaat dari menerapkan nilai-nilai organisasi yang dianutnya secara tegas sambil menghindari kemungkinan dianggap sebagai munafik.

Satu-satunya kualitas terpenting dalam menghadapi tantangan ini adalah transparansi melalui komunikasi terbuka.

Memang benar bahwa karyawan dapat secara cepat membuat penilaian subjektif tanpa mempertimbangkan pemimpinnya (misalnya, “Mengapa saya diberikan tugas ini? Apakah mereka tidak tahu berapa banyak hal yang harus saya lakukan?”). Di sisi lain, pemimpin juga gagal dalam mengatasi permasalahan tersebut yang akan sangat nyata terbenak dalam pikiran karyawannya.

Baca juga: 5 Wanita Bisnis yang Sangat Sukses dalam Karirnya

Sebagaimana diimplikasikan oleh Cha dan Edmondson, karyawan ahli dalam membuat penilaian cepat; namun, penilaian ini pasti dapat semakin memburuk selama komunikasi seorang pemimpin yang kurang efektif tersebut terus berkelanjutan.

Kraemer Jr berpendapat bahwa adanya “ketidakpercayaan yang meluas akan kepemimpinan” dan itu merupakan tugas dari seorang pemimpin untuk memperoleh dan mempertahankan kepercayaan para pengikutnya.

Tentunya, beberapa pemimpin merasa bersalah karena kekurangannya yang bisa jadi mengarah pada “hypocrisy attribution”. Tetapi ada kemungkinan bahwa banyak dari mereka yang sesederhana itu mengabaikan kewajibannya untuk memberikan penjelasan dan arahan komprehensif pada para karyawannya.

Dari sisi karyawan pun akan lebih bijak bila mereka juga mempertimbangkan kepemimpinan sebagai persoalan yang kompleks dan layaknya manusia pada umumnya, seorang pemimpin tidak akan selalu benar dan terkadang memerlukan waktu untuk menentukan tindakan mana yang paling tepat dilakukan dalam suatu permasalahan.

Hanya melalui komunikasi terbuka kemudian kedua pihak dapat saling memahami satu sama lain, yang mana pada awalnya mungkin menjadi sebuah tantangan tersendiri. Namun, pasti hal tersebut akan terbuktikan dengan terwujudnya kinerja yang lebih baik dari semua elemen yang terlibat pada organisasi tersebut.

3 COMMENTS

Comments are closed.