Bagaimana Pandemi Mengubah Strategi Investasi, Terutama P2P Lending

0
1391
Strategi Investasi Saat Pandemi
Artikel ini merupakan guest post dari Investbro.id

“There are decades where nothing happens; and there are weeks where decades happen” ~ Vladimir Lenin.

Pandemi setahun terakhir terasa seperti satu dekade. Bukan hanya kebiasan sehari-hari seperti mencuci tangan dan memakai masker saja yang berubah, namun terjadi pergeseran paradigma yang signifikan tentang memandang investasi pada mindset masyarakat.

Kepanikan yang melanda investor sebagai respon terhadap runtuhnya pasar modal pada Februari – Maret 2020 memberikan efek jangka panjang pada strategi investasi yang diterapkan.

Namun, mengapa jatuhnya harga bisa memberikan efek yang mendalam pada masyarakat?

Efek Loss Aversion

Loss aversion adalah konsep psikologi yang dipopulerkan oleh pemenang hadiah Nobel Daniel Kahneman. Singkatnya, emosi yang dirasakan oleh investor saat untung dan rugi tidak simetris.

Kerugian 50% akan lebih menyakitkan dibanding kebahagian yang didapat saat untung 50%.

Ditambah banyaknya investor milenial yang baru merasakan jatuhnya pasar untuk pertama kali, tidak heran kejatuhan harga pada kuarter pertama 2020 terasa ekstra menyakitkan. Kejadian-kejadian emosional adalah pembentuk utama cara otak kita mengambil keputusan, tidak sebatas pada dunia investasi, namun pada semua bidang.

Kita bisa melupakan kumpulan detailnya beberapa tahun kemudian, namun kita pasti bisa mengingat jelas emosi yang dirasakan.

Nah, jika investor sudah diguncang emosinya, apa keputusan berikut yang akan mereka ambil?

Stop Loss vs Risk Seeking

Dilanda harga yang jatuh tajam, biasanya terdapat 2 jenis investor:

  1. Menjual semua asset karena takut harga akan jatuh lebih dalam
  2. Semakin agresif untuk “mengejar” kerugian

Pada saat melihat investasinya yang sedang merah-merahnya, tipe ke-2 cenderung lupa akan tujuan investasi jangka panjangnya dan malah berpandangan sempit serta menempuh segala cara untuk mengembalikan kerugian secepat mungkin.

Yang sebelumnya sudah disiplin menanamkan modal di saham blue-chip, P2P lending terpercaya, dan deposito, malah berbalik menggelontorkan duit ke saham gorengan, altcoins, dan forex.

Semuanya Bisa Runtuh Pada Satu Malam

Pandemi mengajarkan kita bahwa kebanyakan aset yang selama ini dianggap aman ternyata tidak seaman yang diharapkan.

Bull market terpanjang sejarah yang dimulai sejak recovery dari resesi 2008 membutakan mata kita tentang manajemen risiko yang baik. Dalam bull market, jenis aset yang tidak memiliki fundamental yang baik pun akan terus naik mengikuti pergerakan pasar secara keseluruhan. Orang sering bilang “monyet pun bisa untung saat bull market.”

Sulit untuk membedakan mana aset yang berkualitas dan mana yang tidak.

Saham-saham blue chip yang prestisius pun tidak luput dari kejatuhan harga. Jika memakai strategi “Barbell” dimana modal hanya ditempatkan di aset aman dan aset spekulatif saja, tidak pada aset medium, saham blue chip yang dulunya tergolong aman sekarang malah berasa lebih dekat ke aset spekulatif.

Faktor utamanya adalah tidak adanya asuransi pada investasi. Tidak ada jaminan uang kembali jika harga saham menjadi Rp0. Upside yang ditawarkan memang menarik, namun tidak adanya proteksi downside menjadi faktor yang terkadang menakutkan.

P2P Lending Dengan Asuransi Sebagai Solusi

Jika bisa terjadi sekali, maka akan bisa terjadi lagi. Pandemi ini mengajarkan kita untuk mempersiapkan diri untuk market crash selanjutnya. Bentuknya bisa bukan berupa pandemi lagi, tetapi bisa dalam bentuk apapun.

Kejatuhan pasar terakhir mengajarkan kita tentang pentingnya asuransi sebagai proteksi aset investasi. Namun, bukan berarti rate keuntungan menjadi dikorbankan. Tidak.

P2P lending memang harus diakui bukanlah aset investasi yang “sexy”. Modelnya cenderung sederhana dan membosankan. Tidak ada aspek keseruan seperti memantau grafik harga saham dan menginterpretasi ratusan pola candlestick-nya. Volatilitasnya tidak segila kriptokurensi.

Namun, bukan berarti investasi di P2P lending inferor dibanding saham dan kriptokurensi. Secara historis, keuntungannya berada di atas saham, dan risikonya sangat jauh di bawah aset spekulatif seperti Bitcoin.

Tidak hanya itu saja, jika Anda memilih berinvestasi di P2P lending yang menawarkan asuransi seperti Akseleran, Anda mempunyai safety net yang mengizinkan Anda tertidur lelap saat malam tanpa harus takut aset tersapu bersih saat bangun.

Baca juga: Pendanaan Jadi Semakin Aman dengan Proteksi Asuransi Kredit di Akseleran!

Analogikan asuransi sebagai stop loss seperti jika Anda berinvestasi di pasar saham.

Asuransi sebesar 90% jika peminjam gagal bayar berarti stop loss jika aset Anda jatuh 10%. Tidak ada skenario dimana aset berkurang 30% dalam hitungan jam, yang sering terjadi pada aset spekulatif kriptokurensi.

Dikombinasikan dengan TKB90 Akseleran yang biasanya berada di atas angka 98%, kemungkinan investasi Anda tersapu habis bisa dikatakan sangat kecil. Dengan return yang tidak kalah dibanding saham, dan downside yang terproteksi, tidak ada alasan bagi seorang investor untuk tidak menempatkan sebagian modalnya di P2P lending.

Saya pribadi sudah mencoba hampir semua penyedia jasa P2P lending di pasaran. Dari semuanya, hanya Akseleran yang memiliki perpaduan pemberian proteksi pada investor dan track record yang cemerlang.

Meskipun terpercaya, bukan berarti strategi yang diterapkan bisa asal-asalan. Berikut beberapa tips dari Investbro untuk meraih keuntungan yang maksimal di P2P lending:

  1. Diversifikasi! Sebarkan uang ke minimal 10 peminjam.
  2. Diversifikasi! Kombinasikan juga aset di P2P lending dengan aset pada instrument lainnya.
  3. Utamakan pinjaman dengan tenor singkat jika bunga yang diberikan setara.
  4. Cek histori pinjaman, semakin besar nilai pada pinjaman aktif, semakin besar risikonya. Perhatikan juga kolom “Riwayat Pinjaman Lunas” untuk mengecek track record ketepatan waktu pembayaran dari peminjam.
  5. Gunakan fitur “Auto Lending” jika Anda tidak memiliki banyak waktu untuk mengelola portfolio.

Gimana, tertarik berinvestasi di P2P lending sebagai instrumen pilihan pos-pandemi?