Artikel di bawah ini ditulis oleh Tendi Mahadi, pada tanggal 10 Oktober 2017 dan diambil dari situs Kontan (http://keuangan.kontan.co.id/news/akseleran-menjajal-bisnis-peer-to-peer-lending).
Artikel ini memberitakan peluncuran layanan Peer-to-Peer (P2P) Lending dari Akseleran. Sebelumnya Akseleran lebih dikenal sebagai pionir Equity Crowdfunding di Indonesia, dan sekarang ingin membantu lebih banyak UKM dan membuka akses investasi kepada masyarakat luas dengan layanan baru ini.
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Peluang dari bisnis pinjam meminjam secara online lewat skema peer to peer lending dinilai masih sangat besar. Sejumlah perusahaan pun masuk ke segmen bisnis ini.
Yang tebaru adalah Akseleran yang mulai menjalankan bisnis lewat skema ini. Produk baru ini merupakan kelanjutan bisnis dari Akseleran sebelumnya yang berupa layanan investasi dengan penyertaan saham alias equity crowdfunding.
Chief Executive Officer Akseleran Ivan Tambunan menyebut langkah ini merupakan bagian dari upaya perusahaannya dalam berinovasi untuk menghadirkan layanan yang dapat membantu perekonomian inklusif di Indonesia.
“Kami menyadari jika masih banyak UKM yang belum mempunyai akses pendanaan. Disinilah kami berharap bahwa layanan tambahan kami, peer to peer lending, dapat memberi opsi pendanaan bagi UKM,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Selasa (10/10).
Menurut dia, salah satu tantangan yang dihadapi oleh UKM adalah minimnya pengetahuan dan ketertarikan dalam berinvestasi terutama di kalangan professional muda. Inilah kenapa edukasi dan kemudahan dalam berinvestasi di Indonesia menjadi penting.
“Karena itulah di Akseleran, kami memberikan banyak insentif dan keamanan bagi masyarakat yang ingin berinvestasi melalui portal kami, termasuk dengan telah terdaftarnya Akseleran pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” tambahnya.
Kontribusi UKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia mengalami peningkatan dari 57,84% menjadi 60,34% dalam lima tahun terakhir. Namun sumbangan UKM ke rantai pasok produksi global masih sangat minim yaitu hanya sebesar 0,8%. Hal ini disebabkan oleh lemahnya sektor permodalan yang mempengaruhi rendahnya tingkat produktifitas UKM.