Pinjaman Online Membawa Sengsara?

0
3673

Kasus pinjaman online atau layanan teknologi keuangan (fintech) ilegal sering kali merugikan konsumen. Baru-baru ini pun muncul kasus menghebohkan “Perempuan Rela Digilir Demi Lunasi Utang Fintech”. Padahal masih hangat di ingatan kasus yang tak kalah menggegerkan sebelumnya dimana seorang sopir taksi harus bunuh diri akibat jeratan pinjaman online yang menggiurkan namun dengan bunga yang mencekik leher.

Kasus-kasus seperti ini sebenarnya menjadi perhatian khusus Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Terkait hal itu, OJK dan AFPI terus menghimbau agar masyarakat lebih berhati-hati ketika meminjam di layanan teknologi keuangan atau fintech Peer-to-Peer (P2P) Lending. Selain itu juga, masyarakat harus memastikan bahwa fintech P2P Lending yang digunakan adalah yang legal atau sudah terdaftar resmi dan diawasi oleh OJK.

Berdasarkan catatan OJK hingga Mei 2019, tercatat sebanyak 113 fintech P2P Lending legal dengan total penyaluran pinjaman online senilai Rp41,04 triliun. Total penyaluran pinjaman online tersebut, secara year to date mengalami peningkatan sebesar 81,11% dibandingkan tahun lalu yang tercatat senilai Rp22,66 triliun. Sayangnya, angka pertumbuhan fintech P2P Lending legal tak sepadan dengan fintech P2P Lending ilegal yang tercatat mencapai 940 platform yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Terkait pertumbuhan yang subur industri teknologi keuangan (financial technology/fintech) di Indonesia. Kali ini Kata Akseleran menggali perspektif berbeda dari sudut pandang jurnalis yang setiap harinya meliput perkembangan industri fintech. Berikut kutipan sudut pandang Hendri Roris Sianturi selaku Wartawan Gatra dan Idealisa Masyrafina selaku Wartawan Republika.

Seperti Apa Pertumbuhan Fintech di Indonesia?

Hendri Roris Sianturi – Wartawan Gatra : Jika mengacu data fintech ilegal, setidaknya sekitar 10% fintech legal yang ada di Indonesia. Kenapa fintech ilegal lebih banyak dibandingkan legal? Hal ini dampak dari adanya kemudahan yang diberikan oleh fintech ilegal, terlebih bagi masyarakat yang sangat membutuhkan dana dalam waktu cepat. Hal tersebut menjadi salah satu hal yang mengkhawatirkan dan akhirnya masyarakat terjebak oleh fintech ilegal.

Bagaimana menanggapi banyaknya fintech ilegal yang ditopang oleh banyaknya konsumen yang butuh dana cepat. Apakah hal itu wajar hingga masyarakat akhirnya meminjam ke fintech ilegal?

Idealisa Masyrafina – Wartawan Republika : kebutuhan dana memang menjadi kebutuhan masyarakat, mungkin banyak yang pinjam untuk kebutuhan konsumtif, mungkin juga masyarakat yang memiliki usaha lalu butuh dana untuk modal usahanya namun tidak memiliki agunan untuk pinjam di bank. Hal ini sebenarnya berbahaya untuk mereka. Di sisi lain untuk memberantas fintech-fintech ilegal dan kebutuhan masyarakat terpenuhi, maka harus mendapat dukungan penuh dari OJK, agar konsumen mendapat perlindungan dari fintech yang dipilihnya.

OJK sebenarnya sudah mengatur industri fintech, tetapi untuk antisipasi apakah ada saran/masukan seperti apa langkah-langkah konkret yang harus dilakukan oleh OJK maupun dari asosiasi fintech?

Idealisa Masyrafina – Wartawan Republika : saat ini regulasi yang ada belum ada penegakan hukum bagi fintech ilegal. Aturan yang ada saat ini masih persyaratan pengajuan ijin bagi yang ingin mendirikan fintech. Tetapi bentuk perlindungan konsumen dengan memberikan sanksi atau penegakan hukum bagi fintech ilegal belum ada. Maka tak heran, fintech ilegal masih terus merajalela.

Hendri Roris Sianturi – Wartawan Gatra : langkah yang dilakukan OJK dan AFPI masih kurang tegas, karena langkah yang dilakukan regulator dan asosiasi dalam memberantas fintech ilegal semacam ilalang, ditebas satu tumbuh seribu. Sehingga perlu adanya regulasi atau hukum yang tegas.

Apakah fintech yang konsumtif atau produktif yang harus dikembangkan di Indonesia?

Idealisa Masyrafina – Wartawan Republika : lebih bagus fintech produktif karena untuk UKM yang membutuhkan modal. Dibandingkan fintech konsumtif dan legal, ujung-ujungnya akan memberatkan konsumen dengan bunga yang dihitung harian. Setidaknya, fintech konsumtif dibatasi sebagai sarana mengedukasi masyarakat untuk hidup lebih produktif jika pinjam di fintech produktif.

Hendri Roris Sianturi – Wartawan Gatra : sebenarnya fintech konsumtif perlu dikontrol bukan dibatasi. Karena sebuah negara juga perlu adanya pertumbuhan konsumsi untuk keberlangsungan sebuah negara.

Lalu sebenarnya, Kehadiran Fintech P2P Lending Good News or Bad News? Saksikan tayangan selengkapnya:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here